Intensitas Hujan Tinggi, Petani Tembakau di Lereng Gunung Prau Resah
MAGELANGEKSPRES.COM, TEMANGGUNG – Para petani tembakau di lereng Gunung Prau tengah dibuat resah. Pasalnya, tingginya intensitas hujan menyebabkan busuk batang pada tanaman tembakau di lahan-lahan milik mereka. Akibatnya, tak sedikit tanaman tembakau yang masih berumur sekitar satu bulan layu hingga akhirnya mati. Seperti yang diungkapkan salah seorang petani muda asal Dusun Bakal, Desa Campurejo, Kecamatan Tretep, Reza Hardiansyah (25), Sabtu (14/5/2022). Menurutnya, sejak sekitar bulan April lalu para petani di wilayah ini telah mulai menanam tembakau. Akan tetapi, tingginya intensitas curah hujan menyebabkan lahan milik mereka terlalu jenuh oleh kandungan air. Hal ini yang menjadi penyebab utama busuk batang pada tanaman. “Gara-gara tinggi curah hujan menyeba kan tanaman tembakau kami mengalami busuk batang. Contohnya di lahan saya saja. Dari 10.000 batang tanaman, 30 persen di antaranya mati karena batangnya membusuk. Bahkan ada yang kerusakannya mencapai 50 persen,” jelasnya. Ia menambahkan, untuk mengganti tanaman tembakau yang rusak tersebut, para petani membutuhkan benih baru untuk kembali ditanam di lahan masing-masing. “Stok benih tembakau milik petani di sini ada yang sudah habis. Makanya beberapa mengambil lagi di luar, salah satunya dari Weleri, Kabupaten Kendal,” imbuhnya. Sementara itu, Suamin (48) salah seorang petani tembakau lain asal lereng Gunung Sumbing, tepatnya Desa Tlilir Kecamatan Tembarak mengungkapkan, bahwa dari tahun ke tahun problem yang melanda para petani tembakau hampir sama. Selain faktor cuaca, hal lain yang dianggap cukup krusial adalah masalah pembelian produk panenan tembakau oleh pihak pabrikan. “Kami cuma minta diperhatikan masalah kesejahteraannya. Pabrikan membeli produk tembakau hasil panen petani dengan harga murah selama dua tahun berturut-turut saja kita sudah kesulitan. Apalagi kadang faktor cuaca juga kurang mendukung,” ujarnya. Ia menyebut, harga pembelian tembakau dari pabrikan sangat menentukan nasib kesejahteraan mereka lantaran selama proses produksi masing-masing petani mengeluarkan modal yang cukup besar. “Kalau mintanya harga setinggi-tingginya, tapi kan kita juga lihat kualitas yang bergantung dengan musim juga. Contoh tipe Totol C dihargai Rp 100.000 per kilo pas cuaca sedang, itu sudah lumayan. Apalagi pas cuaca mendukung mungkin harganya lebih dari itu,” pungkasnya. (riz)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: